Membaca Peluang Ternak Puyuh

peluang ternak puyuh, ternak puyuh, bisnis puyuh, telur puyuh, olahan puyuh

Dalam sebuh bisnis pemasaran dan difersivikasi produk merupakan hal yang paling urgen dibanding dengan devisi lainnya. Karena masa dimana industrialisasi telah menggurita dimana-mana berarti produksi menjadi hal yang paling mudah digandakan dimana-mana.

Buktinya sekarang daerah-daerah yang dulunya menjadi sentra lumbung penkonsumsi telur dan daging puyuh, sekarang malah telah swasembada puyuh.

Pun apa yang terjadi sekarang dalam dunia perpuyuhan. Ketika produksi Day Old Quail (DOQ) sudah over capacity, dan produksi telur semakin bertambah seiring dengan bertambahnya DOQ maka hukum ekonomi pun terjadi.


Ilustrasinya seperti ini:
Dalam sebuah desa pedalaman pulau, sebut saja desa sukacita, jumlah penduduknya ada 100 orang dimana 50 diantaranya adalah penyuka telur puyuh. Melihat peluang demikian Pak Ahmad kemudian beternak puyuh untuk memenuhi kebutuhan 50 orang tetangganya yang rata-rata menghabiskan ½ Kg per harinya setiap kepala dengan harga rata-rata per tahun 25.000/Kg.

Melihat kesuksesan pak Ahmad tetangganya menjadi penasaran untuk mencoba beternak juga. Lalu pak Budi dan pak Andi memutuskan untuk beternak puyuh. Seiring waktu berlalu akhirnya pak Budi dan pak Andi bisa memenuhi separuh dari kebutuhan penyuka telur puyuh didesanya yang dulu dikuasai oleh pak Ahmad.

Karena pak Ahmad ingin mendapatkan separuh hasil yang dikuasai pak Budi dan pak Andi sekarang pak Ahmad berniat menambah kapasitas ternaknya. Sementara itu pak Budi dan pak Andi yang telah merasakan nikmatnya menjadi peternak puyuh melakukan hal yang sama, yaitu menambah kapasitas ternak.

Celakanya, disaat yang sama penyuka telur puyuh didesa tersebut sama sekali tidak bertambah. Bahkan beberapa yang sudah ada ada yang bosan karena tidak bisa memasak puyuh kecuali dengan cara direbus, disambal goreng dan paling banter di buat bumbu balado.

Maka akhirnya kapasitas produksi yang dimiliki oleh pak Ahmad, pak Budi dan pak Andi menjadi dua kali lipat awalnya.

Entah karena kuper atau takut gagal mencoba, mereka bertiga sama sekali tidak ingin memasarkan telur puyuh hasil ternak mereka ke luar pulau. Mereka juga malas berinovasi agar mereka yang sudah bosan dengan olahan telur puyuh dengan menu yang itu-itu saja menjadi tertarik “balikan” mengkonsumsi telur puyuh.

Maka akhirnya produksi telur di pulau tersebut melimpah. Karena takut dengan masa baik konsumsi telur agar tidak basi, maka sebisa mungkin mereka bertiga berlomba membanting harga. Sampai akhirnya harga telur puyuh mencapai 15.000/kg.

Kejadian serupa berulang-ulang pada tahun-tahun selanjutnya. Bahkan bisa dibilang bertambahnya peternak dan kapasitas produksi telur puyuh jauh lebih cepat dengan pertumbuhan konsumsinya.

Hasilnya bisa ditebak, kondisi semacam ini bertambah tahun tidak bertambah baik tapi malah semakin buruk. Karena demans tak sebanding dengan suplay. Permintaan tak sebanding dengan penawaran.

Nah, ilustrasi tersebut sedikit banyak menggambarkan apa yang akan terjadi dengan kondisi peternakan puyuh kita.

Jika para pedagang masih ogah-ogahan ekpansi pasar, jika para peternak puyuh hanya memikirkan bagaimana menambah produksi, sementara permintaan konsumsi telur puyuh stagnan, bahkan cenderung menurun karena tidak ada inovasi turunan yang dihasilkan (Difersivikasi Produk), maka siklus harga akan tetap sama.

Bahkan akan banyak jebloknya dari pada positifnya. Karena produksi bisa berkali-kali lipat banyaknya tak sebanding dengan konsumsi.

Karena itu pada tahun-tahun berikutnya yang diperlukan dalam dunia ternak puyuh adalah mereka yang bisa membuka ekspansi pasar dan mereka yang bisa membuat produk-produk baru berbahan telur dan daging puyuh. Terlebih jika mereka-mereka ini bisa mengemasnya dengan selera orang kekinian dan dengan manajemen dana yang cukup.

Sementara data populasi puyuh di Indonesia secara keseluruhan dan perkembangannya disetiap daerah sudah pernah saya tulis disini. Sementara data puyuh pedaging di Indonesia bisa dilihat disini. Silahkan dibaca kembali.

Setelah semua itu Maka jangan sampai paradog di ilustrasi tersebut ada pada kita.

Ingat pak Ahmad, pak Budi dan pak Andi pada cerita diatas? Kenapa konsumen di pulau tersebut tidak bertambah setelah sekian tahun berjalan? Jawabanya ya karena pak Ahmad, pak Budi dan pak Andi nggak suka telur puyuh.

Nah, jangan-jangan kita sama dengan pak Ahmad dan kawan-kawannya???


Tidak ada komentar

'; (function() { var dsq = document.createElement('script'); dsq.type = 'text/javascript'; dsq.async = true; dsq.src = '//' + disqus_shortname + '.disqus.com/embed.js'; (document.getElementsByTagName('head')[0] || document.getElementsByTagName('body')[0]).appendChild(dsq); })();