3 KESALAHAN FATAL PETERNAK PUYUH PEMULA

peternak puyuh, kesalahan beternak puyuh, kemitraan beternak puyuh

Mendengar bisik-bisik teman dan tetangga soal keuntungan beternak puyuh selalu saja menggoda.
Apalagi kalau sudah dibumbui minim modal dan cepetnya puyuh bertelur bila dibanding dengan sohib2 unggas lainnya.
Maka godaanya semakin nggapleki. Awan bengi ra penak turu. Pengene ndang budal bulan madu.
Woi... Sadar woi...
Usaha mana yang gk ada resikonya???
1. Untung Menggoda = Kerugian Merajalela
Sepertinya masih banyak diantara kita yang masih buta literasi bisnis. Bisa jadi karena prinsipnya asal jalan dulu aja.
Ada juga yang kemakan jurus gobloknya seorang motivator yang selalu pakai celana cekak itu.
Dalam literasi keuangan di kenal sebuah istilah hi risk = hi return. Semakin tinggi resiko semakin tinggi pula untung yg diraih.
Sebaliknya, semakin tinggi obral janji tetangga, bakul, atau marketing, maka semakin tinggi pula resiko ambleknya.
Ini sangat natural.
Seperti kalau kita naik kendaraan di jalan nanjak, maka semakin tinggi tanjakan, semakin curam turunanya. Semakin dag dig dug getaran cintanya 😂
Karena itu, menurut literasi keungan, mereka yang berhasil itu bukan yang tergoda dengan besaran untungnya. Tapi yang berhasil memanajemen resiko yang akan dihadapinya.
Sayangnya, banyak pemula yg terjebak di kesalahan pertama ini.
2. Work Beside Debt
Bertani, beternak puyuh, jual pentol, jual bakso, bengkel, bakul cilot, semua ini adalah jenis usaha.
Bedanya ada usaha yang basicnya butuh skill, modal, gabungan dari keduanya, dan yang terakhir makelaran.
Usaha yang butuh skill seperti bengkel, chef, pengepul racun kalajengking dan telur tengu, tukang dinamo dll.
Sementara usaha yg butuh modal relatif besar dari pada skill adalah beternak puyuh/ayam, restoran, toko baju offline, jual beli telur, dlsb.
Yang terakhir adalah makelaran. Atau marketing, makelar is everithing. Kabeh ditawarne. Barangnya dari org lain.
Masalahnya adalah jika usaha yang berbasis modal didapat dari utang.
Bukan berarti gk boleh hutang. Tapi yang harus dipikirikan adalah rasionya.
Rasio hutang yang biasa dianjurkan itu adalah 1/3 dari asset yang dimiliki.
Ini adalah rasio hutang yang sehat.
Diatas itu, apalagi kalau hasil dari usaha masih tanda tanya, maka seperti membuat lubang kuburan sendiri.
Karena jika dihitung-hitung, rasio bunga Bank itu pasti, sementara hasil beternak sebagai pembandingnya masih buta.
Jika dibuat model matematika berarti A:B=0 dimana A adalah hasil beternak sedang B adalah bunga pinjaman.
Jika hasil beternak buta atau 0 dibanding bunga sama dengan 1-2% per bulan, maka hasilnya adalah tak terhingga.
Nah, karena itu sebisa mungkin hutang harus dijauhi bagi para pemula. Kecuali kalau sudah expert. Sudah tau persis masa paceklik ternak puyuh dan masa suburnya.
3. Taklid Buta
Sekitar 4 tahun lalu ketika saya memulai beternak puyuh hanya termotivasi sama janji2 untung di buku panduan buku beternak puyuh.
Ada juga sih buku yang saya baca soal teknis budidayanya.
Tapi setelah dipraktekkan ternyata bulshit. Tai kebo tenan.
Beli pullet kena tipu. Dari 2 ribu ekor, selama 4 bulan pertama hanya bertelur tidak lebih dari 6 tre per seribu.
Maka, saya minta tolong sama teman yang lebih dulu beternak untuk ngecek ke kandang.
Katanya puyuhnya BANCI.
Lah?? LGBT ada juga yak di dunia perpuyuhan.
Karena temen tadi menganjurkan di afkir aja, maka ya sudah, dengan berat hati afkir dini. Karena hasilnya gk nutut buat pakan.
Nah, karena itu, bagi pemula, ada baiknya sebelum mulai ternak, pahami ilmunya.
Cari bakul DOQ atau pullet yang sudah terbukti jaminan kualitasnya. Kalau perlu minta garansi.
Ojo gur grusa-grusu melu2 omongane konco karo janji manis bakul.
Karena hidup ini tak semudah cocote Mario Teguh. Jare kutipan bak trek.
Salam waras.
PUSAT JUAL BELI TELUR PUYUH BLITAR
085790380475

1 komentar:

'; (function() { var dsq = document.createElement('script'); dsq.type = 'text/javascript'; dsq.async = true; dsq.src = '//' + disqus_shortname + '.disqus.com/embed.js'; (document.getElementsByTagName('head')[0] || document.getElementsByTagName('body')[0]).appendChild(dsq); })();